Categories
KUP

Siapa yang dapat mewakili Wajib Pajak?

Terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 63/PUU-XV/2017 mengubah peta kedudukan Konsultan Pajak yang selama ini berjalan. Putusan MK No-63 ini mengatur terkait pasal 32 ayat (3a) UU No. 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan (KUP) yang berbunyi:

“Persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan”

    Atas pasal tersebut terbitlah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.03/2014 tentang Persyaratan Serta Pelaksanaan Hak Dan Kewajiban Seorang Kuasa. Dimana dalam Pasal 2 ayat (4) PMK 229 mengatur bahwa yang dapat menjadi kuasa Wajib Pajak adalah:
  1. konsultan pajak; dan
  2. karyawan Wajib Pajak.

Yang kemudian di pasal 5 PMK 229 mengatur bahwa izin praktik konsultan pajak diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-13/PJ/2015 tentang Petunjuk Pelaksanaan Ketentuan Konsultan Pajak di Pasal 2 ayat (3b) menyatakan salah satu syarat izin Praktik Konsultan Pajak adalah:

“fotokopi Sertifikat Konsultan Pajak yang telah dilegalisasi oleh Panitia Penyelenggara Sertifikasi Konsultan Pajak;”.

Dimana dalam hal ini apabila seseorang berniat untuk menjadi Konsultan Pajak maka harus mengikuti Ujian Sertifikasi Konsultan Pajak (USKP) untuk melengkapi salah satu permohonan menjadi konsultan pajak.

Permasalahan muncul disini,

    Undang-undang nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat di pasal 1
  1. Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.
  2. Jasa Hukum adalah jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan konsultasi hukum,bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien.


Disini muncul permasalahan bahwa dalam UU No 18 tahun 2003 memberikan kewenangan kepada Advokat untuk mewakili klien atau melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan klien baik didalam maupun diluar pengadilan.
Sedangkan PMK -229 hanya memberi wewenang kepada karyawan dan konsultan pajak untuk menjadi Kuasa Wajib Pajak, atau tidak memberikan celah bagi profesi Advokat untuk mendampingi atau mewakili Wajib Pajak dalam menjalankan Kewajiban Perpajaknnya. Dalam hal ini, profesi Advokat merasa kewenangan mereka yang diberikan dalam UU No 18 tahun 2003 tercederai oleh Peraturan Menteri Keuangan yang posisinya dibawah Undang-undang.

Ahkirnya gugatan atas kuasa wajib pajak sebagaiman diatur dalam Pasal pasal 32 ayat (3a) UU KUP dan turunanya berakhir di Putusan Mahkamah Konstitusi No. 63/PUU-XV/2017, yang menyatakan bahwa frasa
“pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa”
dalam Pasal 32 ayat (3a) UU No 28 Tahun 2007 tentang Perubahan ketiga atas UU no 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Perpajakan, secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai hanya berkenaan dengan hal-hal yang bersifat teknis-administratif dan bukan pembatasan dan/atau perluasan hak dan kewajiban warga negara.

Dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi ini pembatasan dalam hal penunjukan kuasa wajib pajak dihapuskan, sehingga berimplikasi terjadinya kekosongan norma terhadap pengaturan mengenai kuasa wajib pajak. Sampai mungkin seharusnya terbit Undang-undang tentang Konsultan Pajak, agar memiliki posisi yang setara dengan Advokat, seperti Kuasa Hukum Pengadilan Pajak yang diatur dalam Undang undang nomor 14 Tahun 2002 tetang Pengadilan Pajak.

Sehingga seseorang yang dapat ditunjuk menjadi kuasa bukan hanya konsultan pajak dan karyawan wajib pajak, melainkan orang lain juga dapat menjadi kuasa wajib pajak atau tidak ada lagi pembatasan hak.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


CAPTCHA Image
Reload Image